INSIDE OUT

Intan Sofia Rahmah
4 min readJun 1, 2021

--

from Canva.com

Kalau ditanya soal kesibukan akhir-akhir ini, sebenarnya tidak ada selain kuliah online dan peretelan tugasnya yang kadang-kadang bukan main banyaknya. Rasanya dengan diam di rumah saja bikin otak agak tumpul, karena sudah lama tidak ngobrol dan berbincang dengan orang lain. Kadang ngerasa sampah karena benar-benar tidak produktif. Kata orang lain sih, kesempatan seperti ini dimanfaatkan untuk menggali softskill. Sudah sih… tapi softskill-nya juga nggak berkembang-berkembang tuh. Saatnya aku bertanya. What is wrong? What should I do?

Setidaknya aku tidak gelisah atau terkena Covid Syndrome yang menyerang mental. Aku membaca beberapa artikel tentang presentase remaja dan orang dewasa yang stress dengan pandemi Covid-19. Ekonomi memburuk dan banyak yang gagal menjalankan rencananya. Jujur saja, keluarga mana yang tidak terkena dampak finansial karena Covid-19? Alhamdulillah-nya keluargaku sebenarnya masih stabil. Namun memang ada banyak hal yang merubah sikap dan mental orang-orang karena pandemi ini.

Rentang anak muda dari umur 15 hingga 20-an keatas mungkin yang paling rentan. Kondisi sekolah dan kuliah online sudah membuat internet seperti sekolah, teman, arena hiburan, kampus, hingga menjadi bagian hidup yang tidak bisa terlepaskan. Hidup di rumah terlalu lama bahkan membuat orang-orang tidak kenal mana siang mana malam. Begadang hingga larut malam, menjelajahi berbagai macam hiburan di internet, lalu menebus tidur pada paginya. Hampir lupa kalau Allah sudah membuat siang sebagai waktu bekerja dan malam sebagai waktu istirahat. Wa ja’alnan nahaara ma’aasya wa ja’alnal laila libaasa.

Pengalih perhatian ini yang sedikit mengkhawatirkan. Sifat platform digital yang menarik konsumer untuk menjelajah terus menerus menuju konten yang disukai bisa membuat dia lupa waktu. Porsinya sudah mengambil bagian waktu yang tidak sedikit untuk orang-orang. Hasilnya? Muncul sifat ignorance. Tidak peduli dengan lingkungan sekitar. Atau sebenarnya sudah terlalu sibuk dengan urusan di hp-nya.

Akhirnya, ketika sekolah-sekolah berganti menjadi gadget, ketika teman sudah berganti menjadi WhatsApp, ketika organisasi sudah berubah menjadi grup Line, ketika tetangga berubah menjadi profil IG, yang kita bisa lakukan adalah melakukan setidaknya hal terbaik yang bisa diperjuangkan sebagai manusia.

Sesadar-sadarnya kita sebagai manusia, sadar sebagai pribadi bertuhan dan bukan hidup hanya untuk makan dan tidur setiap hari, kita pasti punya sesuatu untuk diperjuangkan dalam hidup. PASTI ADA. Setidaknya untuk sekarang, kita menyelamatkan dulu diri kita dari sifat ignorance yang sudah menggerogoti kita seperti lintah. Terlalu disibukkan dalam menonton drama korea dan vlog vlog tidak jelas, terlalu tenggelam dalam mengikuti rentetan aktor dan aktris idola tanpa tahu waktu, terlalu sibuk bermain game sampai mengganti jadwal prioritas, dan hal lainnya yang membuat kita menyakiti diri sendiri karena sudah berkhianat kepada masa depan kita sendiri.

Lalu apa? Apa yang mesti kita lakukan?
Otak manusia sebenarnya tidak akan pernah berhenti. Jika bertanya apa yang mesti dilakukan? kita akan mencari pekerjaan baru yang akan kembali menjerumuskan kita jika kita salah dalam memilih. Sekarang ada hal yang perlu kita luruskan.

MENGAKU. Kita manusia dan WNI yang baik. Ada nilai ketuhanan dalam Pancasila kita. Ada Al-Qur’an yang dengan bacaannya bisa meruntuhkan gunung. Ada kewajiban kita dalam rukun islam yang mungkin belum kita maksimalkan. Ada kekuatan dan kecerdasan kita yang kuat dipakai bekerja dan berpikir. Ada umur kita yang masih bisa kita gunakan untuk menabung amal shalih.

Seketika, aku mengilhami semua ini dengan semua kesempatan yang sebenarnya juga ujian. Umur yang masih muda, sebelum aku menjadi tua. Kekuatan berpikirku yang masih ada, sebelum aku benar-benar pikun. AKU HARUS PUNYA NILAI IDEALISKU. Aku mendata semua Dos and don’ts untuk berjuang di pandemi ini. Tentang sesedikit-sedikit nya hal bermanfaat yang bisa diperjuangkan meski aku di rumah dan hal-hal berlebihan yang mesti aku hindari.

Tentang nilai idealisme, sebenarnya tidak usah muluk-muluk. Setidaknya jika itu bisa mengalihkan kita dari sifat ignorance yang mewabah bersama pandemi, itu seratus kali lebih baik. Entah seperti pembiasaan untuk mulai membaca buku, atau mengganti tontonan youtube yang kurang penting menjadi yang lebih bermanfaat, maka kita sudah merawat diri kita dengan baik. Karena nyatanya hidup kita tidak bisa kosong. Jika kita memutuskan untuk meninggalkan sesuatu, harus ada yang mengisinya. Jangan sampai yang mengisi kekosongan ini juga sesuatu yang mengalihkan perhatian kita dari jati diri kita sebenarnya.

Jangan melakukan sesuatu yang terpaksa, karena datangnya bukan dari hati. Maka belajarlah mencintai kebajikan, mencintai tugas kuliah, mencintai berpikir kritis, mencintai shalat, mencintai mengaji, dan melakukan lainnya dengan hati. Indah sekali bukan?

Jika kali ini terpaksa kulakukan karena aku patuh pada nilai idealisku, sesungguhnya aku baru berkenalan saja, seiring berjalannya waktu, aku akan mencintaimu. Aku dan hidupku tidak bisa mencintai dunia yang akan meninggalkanku. Aku butuh sesuatu yang pasti untuk menjadi jaminanku setelah mati. Nilai idealisku berkata kalau kau mampu. Aku percaya itu.

--

--

No responses yet