Titik Terendah dan ‘Tinggi’

Intan Sofia Rahmah
2 min readOct 14, 2021

--

Sebagaimana manusia emang diciptakan sebagai makhluk sosial, bahkan nabi diperintahkan untuk berdakwah, yang nyatanya menjadi bukti paling ampuh untuk membuktikan manusia emang harus saling tolong menolong. Ada kalanya kita ngerasain di titik terendah dalam hidup, yang kayak butuh pertolongan untuk segera disadarkan, di cerahkan, yang mungkin sebenarnya kita tahu letak penyadaran alam bawah sadar kita untuk tetap optimis, tapi sayangnya mood di hati terlalu dalam memeluk sakit.

Kenapa? Pertanyaan paling mendasar. Karena nggak bisa dipungkiri manusia itu adalah makhluk lemah, yang selalu penuh dengan kebutuhan yang nggak terpenuhi. Keinginannya banyak meluas, tapi kesempatan yang dipunya hanya sebatas pandang. Tidak bisa meraih ini itu. Bahkan kesempatan kecil yang orang lain punya, sungguh menyiksa adanya karena kita nggak bisa seperti itu.

Tapi kalau kita melihat dari sisi nabi, yang dituntut selalu menjadi manusia teratas yang mengemban masalah umat selama hidupnya, kita nggak bisa bilang nabi bukan manusia. Begitulah bagaimana bijaknya Allah membuat contoh bagi kita dari kalangan kita sendiri. Aku nggak bisa bayangin apa solusi Nabi ketika berada di titik terendah selain ‘endure it’ dan serahkan semuanya ke Allah. Buktinya sampai akhir hayatnya, nama nabi tetap menjadi figur manusia terbaik.

Selain itu, barangkali nabi kita tercinta ini memiliki kepedulian yang lebih besar daripada masalahnya sendiri. Pikirannya meluas, tidak egois, kepentingannya adalah umat, bukan pribadi. Maka sesakit-sakit apapun masalah yang dipunya, umat masih jadi prioritas nomor wahid. Setelahnya, jika nabi berada di titik terendah, sebenarnya Allah mengangkat derajatnya daripada keadaannya.

Refleksi sikap nabi bagi aku adalah barangkali aku punya masalah yang sebenarnya tidak terlalu besar, namun cukup membuat aku murung karena orang lain bisa mendapatkannya lebih mudah daripada aku, mungkin ketika itu aku belum bisa memikirkan hal yang lebih tinggi dari memikirkan diri saya sendiri. Istilahnya ‘egois’. Sikap nabi yang dapat ditiru adalah, berfikirlah lebih besar, lebih luas, untuk umat. Saat orang lain yang kita pikirkan lebih banyak ketimang diri sendiri, titik terendah yang kita pikir merupakan bencana, nyatanya bukan apa-apa.

Titik terendah itu persoalan kondisi mental, bukan harga diri. Jadi bisa disembuhkan dengan memperbaiki pola pikir. Banyak-banyak berkaca pada kisah nabi menurutku adalah solusi yang cukup ampuh, karena nggak ada dari kita yang menempa masalah dan beban seberat beliau.

Hari ini mungkin kita merasa lemah, nggak mampu apa-apa, berada di titik terendah, memikirkan hal yang nggak bisa kita capai. Tapi kalau bisa, singkirkan jauh - jauh rasa low self-esteem itu. Allah mengangkat derajat mereka yang mengorbankan segala untuk umat, dan membela agamanya. Kalau derajat kita masih diinjak-injak oleh pola pikir kita sendiri, bagaimana Allah bisa mengangkatnya?

BERSEMANGATLAH KAWANKU. ORANG TERBAIK ADALAH YANG BERMANFAAT BAGI MANUSIA LAIN… JADILAH ORANG YANG TERBAIK. JADILAH ORANG YANG TERBAIK…

--

--

No responses yet